Rabu, 11 Juni 2008

FIGHTING SPIRIT

DENDAM 1000 HARI


Sekitar tiga tahun silam, Daryono, meninggalkan kota Malang untuk bekerja di Jakarta. Semula cuma bekerja seadanya, namun nasib baik membawanya naik sehingga bisa bekerja di sebuah restoran sebagai kasir. Bukan suatu hal yang mudah sebab ia pergi degan membawa suasana buruk di hati. Suatu malam, Daryono yang suka mabuk-mabukan memperkosa seorang gadis penjual jamu gendong yang ditemuinya di pinggir jalan.

Suatu senja, malam Jumat Legi, Daryono yang setengah mabuk melihat penjual jamu berdiri di tepi jalan menunggu angkot. Daryono mendatangi dan menawarkan diri mengantarnya pulang. Entah bagaimana, gadis itu mau saja. Tetapi Daryono tidak mengantarnya sampai tujuan, melainkan membelokkannya di areal persawahan dan memperkosanya di sebuah rumah kosong.
---Paginya, Daryono membaca berita di sebuah surat kabar lokal: “Seorang gadis penjual jamu gantung diri di rumah kosong di areal persawahan.....” Daryono pun panik. Hidupnya jadi tak tenteram, selalu dibayang-bayangi wajah gadis penjual jamu itu. Akhirnya, dua bulan setelah hidup dalam suasana hati tak nyaman, Daryono memutuskan untuk menerima tawaran temannya bekerja di Jakarta.
---Ternyata, suasana Jakarta yang selalu meriah dan pekerjaan yang banyak menyita waktu membuat Daryono cepat melupakan peristiwa menyedihkan itu. Toh bukan salah dia gadis penjual jamu itu bunuh diri. Daryono ‘hanya’ menikmati tubuhnya dan meninggalkan uang 50 ribu sebelum pergi. Adil bukan?
---Tiga tahun telah berlalu, Daryono pun memutuskan untuk pulang, menjenguk orangtuanya di desa. Ia minta cuti seminggu dan dengan hati riang pulang membawa banyak oleh-oleh dari Jakarta untuk kedua orangtua dan adik-adiknya. Daryono mau membuktikan bahwa kepergiannya ke Jakarta bukanlah sia-sia.
---Dua hari di rumah dan telah banyak bercerita tentang Jakarta dan segala keindahannya, Daryono pun berniat keliling kota, melihat-lihat perkembangan kota kelahirannya. Sore itu, ia meminjam motor adiknya dan mulai mengumbar rindu, menjelajahi jalan-jalan kota Malang sudah banyak berubah selama ditinggalkannya. Banyak ruko berdiri di tepi jalan dan areal persawahan sudah banyak yang menjadi perumahan penduduk.
---Ketika malam semakin larut dan susana jalanan di inggiran kota semakin sepi, Daryono pun berniat pulang. Sambil menggumamkan lagu ‘Lilin-lilin Kecil’ Daryono menjalankan motornya dengan santai. Tiba-tiba, di tapal batas kota Daryono melihat seorang wanita muda penjual jamu gendong berdiri di tepi jalan, menunggu angkot. Ingat masa lalu, Daryono jadi takut dan memacu kendaraannya lebih cepat, melewati penjual jamu gendong itu.
---Namun tiba-tiba perasaannnya berkata lain. Mungkin, kalau dia benar-benar mau berbuat baik mengantar penjual jamu itu sampai di rumahnya, dosanya bisa berkurang. Desakan perasaan itu semakin kuat sehingga membuat Daryono memutar motornya kembali ke jalan yang dilewatinya tadi. Ia yakin, perbuatan baik dan benar akan bisa mengurangi perasaan bersalah yang selama ini menggayut di dalam jiwanya.
---“Mau pulang Dik?” sapa Daryono begitu berhenti di depan si penjual jamu gendong. “Ayo saya antar...”
---Penjual jamu gendong yang masih sangat muda itu diam saja sambil mlengos, memadang arah lain.
---“Saya bukan tukang ojek kok dan juga bukan preman,” kata Daryono. “Saya tulus mau ngantar Adik sampai di rumah. Malam-malam begini sudah tidak angkot lewat sini....”
---Penjual jamu itu pun menoleh, memadang Daryono dengan tajam. Hati Daryono terkesiap. Sepertinya ia pernah mengenal wajah itu, tetapi lupa entah dimana. Daryono mencoba mengingat-ingat tetapi tak berhasil.
---Rupanya, kecurigaan pun mulai sirna dari sorot mata si penjual jamu. Wajahnya yang pucat tampak sedikit berbinar. Lalu dia tersenyum dan tanpa bicara ba-bi-bu melepas gendonganya dan naik di sadel belakang. Tangan kirinya memeluk keranjang jamu yang dipangkunya dan tangan kanannya melingkar di perut Daryono. Lelaki muda itu sedikit jengah, namun karena hatinya memang tulus hendak mengantar si penjual jamu gendong pulang, ia diam saja dan melajukan motornya dengan santai.
---“Rumahnya dimana?” tanya Daryono sambil terus memandang ke depan. Sorot lampu motornya menyapu jalanan. “Saya antarkan sampai di rumah.”
---“Watugede...” jawab si penjual jamu singkat. Suaranya terasa terlalu berat untuk ukuran gadis sebelia itu. “Singosari...”
---“Wah, jauh juga...” pikir Daryono. Tetapi karena sudah niat, ia tidak ptotes. “Tepatnya dimana?”
---“Nanti saja tunjukkan kalau sudah sampai di Singosari...” jawab si penjual jamu masih dengan suara berat.
---Daryono diam saja dan terus melajukan motornya yang memang sudah berjalan di arah yang benar. Tak terasa, laju kendaraan semakin lama semakin cepat, sesuai dengan arus lalulintas yang juga semakin cepat di luar kota Malang.
---“Sampeyan darimana?” tiba-tiba si penjual jamu bertanya.
---“Saya?” Daryono agak kaget mendengar pertanyaan itu. “Saya dari Jakarta. Tapi dulu orang sini...”
---“Orang Malang?” tanyanya lagi.
---“Iya...” jawab Daryono.
---“Kok pindah ke Jakarta kenapa?” tanyanya lagi dan pertanyaan itu menggelitik batin Daryono. Ia tidak mau menjawab.
---“Bikin kesalahan ya?” tanya si penjual jamu lagi. Kini suaranya semakin berat. “Memperkosa orang sampai bunuh diri ya?”
---Daryono kaget setengah mati. Ia tak menyangka si penjual jamu akan bicara seperti itu. Motor pun oleng lantaran tangan Daryono gemetar.
---“Ya saya ini yang sampeyan perkosa dulu Mas...saya...saya...!” suara itu semakin berat, menggema dan tak berirama. Daryono semakin kalut, kendali motornya semakin runyam. ---Tiba-tiba Daryono kehilangan kendali. Motornya melenceng ke kanan mendekati jalur pemisah dalam kecepatan tinggi. Sebuah truk bermuatan semen yang juga melaju dengan kencang di belakangnya bingung dan mencoba menghindari tabrakan dengan membuang stir ke kiri. Namun truk itu tak berhasil.
---Dengan amat deras truk menghantam motor Daryono dari belakang. Tak ampun lagi, motor terseret sampai sepuluh meter jauhnya dan pengemudinya terpelanting, jatuh di jalur jalan seberang. Sebuah sedan yang melaju cepat dari arah Singosari tak mampu menghindar pula. Daryono terindas ban sedan dan tewas seketika.
---Orang pun berdatangan untuk menolong. Polantas datang untuk mengusut kecelakaan itu. Pengemudi truk dan sedan dimintai keterangan sementara di tempat kejadian. Beberapa saksi mata juga ditanya dan semua mengatakan bahwa korban terdiri dari dua orang.
---“Yang nyetir laki-laki dan yang mbonceng perempuan muda pakek kain,” hampir semua saksi mata mengatakan begitu ketika ditanya polisi. Namun polisi tidak percaya, sebab di TKP (tempat kejadian perkara) hanya ada satu korban, yaitu laki-laki pengendara motor yang lumat dihimpit ban. Tak ada korban wanita seperti yang dikatakan para saksi mata.
---Lalu kemana perginya si perempuan? Tak ada yang tahu sebab malam itu malam Jumat Legi, apa saja bisa terjadi!
***


MAJALAH BATAL TERBIT



Majalah ini direncanakan terbit
awal tahun 2007, tetapi rupanya
pemilik modal cuma ngobral janji
gombal dan akhirnya tak jadi
terbit.
Siapa mau modali?

Selasa, 27 Mei 2008


MENANTI IBUNDA




PULANG kerja, Sarwono biasa nongkrong dulu di Taman Bungkul, sekedar melepas lelah sambil menikmati hawa malam. Maklum, kantornya di Perak sementara rumahnya di Sidoarjo, sedang sepeda motor yang dipakainya keluaran tahun 70-an yang tentu saja butuh istirahat dalam perjalanan jauh. Hampir setiap hari Sarwono lembur, pulang sekitar pukul sepuluh malam. Ia bekerja sebagai tenaga kasar di sebuah gudang di Tanjung Perak.
Sejak dibangun, Taman Bungkul terlihat indah dan banyak pasangan muda-mudi menghabiskan waktu senja di bangku-bangku taman. Pemandangan memang tidak terlalu bagus, hanya jalan raya yang dipenuhi mobil dan motor seliweran, namun untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan rasa penat sehabis seharian bekerja, rasanya cukup memadai. Apalagi banyak penjual makanan di belakang taman sehingga tak kuatir kelaparan atau kehausan.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Sarwono nongkrong di bangku beton sambil menikmati rokok kretek kesukaannya. Malam telah mendekati puncak, sekitar pukul sebelas lebih sedikit. Suasana senyap. Hanya ada tiga pasangan muda-mudi menghabiskan waktu di sana. Sementara jalan raya juga sudah mulai sepi, tak banyak kendaraan melintas.
Sarwono masih enggan pulang. Di rumah tak ada siapa-siapa sejak istrinya pulang ke rumah orangtuanya dua tahun silam. Istrinya cemburu karena Sarwono kedatangan pacar lamanya yang sudah menikah pula. Sarwono coba menjelaskan bahwa dia dan mantan pacarnya sudah tidak ada hubungan apa-apa, tetapi toh istrinya tetap minta cerai.
Ketika lamunan mulai meraba masa silam, tiba-tiba ada suara wanita menegurnya dari belakang. Sarwono kaget dan menoleh. Seorang perempuan berdiri sambil memandangnya.
“Maaf Mas, sampeyan sendirian?” tanya wanita itu.
Sarwono tak segera menjawab. Ia memang tak biasa bicara dengan perempuan di tengah malam, apalagi di tapi jalan raya. Dugaan pertama Sarwono, pasti perempuan nakal yang sedang mencari lelaki hidung belang. Namun dugaan itu gamang ketika Sarwono memperhatikan pakaiannya yang serba putih dengan topi setengah bulat di kepala. Seragam perawat rumah sakit.
“Iya...eh...iya Mbak..” jawab Sarwono gagap. “Ada perlu apa?”
“Oh tidak...” perempuan itu tersipu. “Saya cuma tanya. Kalau boleh saya mau ikut duduk di sini, daripada berdiri di sana seorang diri. Takut diganggu orang jahat.”
“O...silakan,” kata Sarwono sambil memperhatikan wajah perempuan itu. Wajah yang sederhana tetapi lumayan cantik. Tak ada make-up dan tanpa perhiasan di leher dan tangannya. Jelas bukan perempuan nakal. Apalagi dia memakai seragam perawat.
“Nama saya Darti,” kata perempuan itu sambil duduk di sebelah Sarwono. “Kerja di poliklinik....”
“Saya Sarwono, rumah saya di Sidoarjo,” Sarwono memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kok pulangnya malam?”
“Biasanya sore Mas, tapi hari ini saya nunggu ibu saya yang janji mau jalan sama-sama...”
“Lho, rumahnya dimana?” tanya Sarwono lagi.
“Di Waru Mas,” jawab perempuan yang mengaku bernama Darti itu. “Ibu saya mau ke sini, minta diantar...”
“Mau kemana?” tanya Sarwono iseng.
“Mau ke tempat yang jauh Mas, ibu takut sendirian....” jawab Darti sambil menunduk. Ada rona kesedihan dalam suaranya.
“Jauh dimana?” Sarwono jadi ingin lebih tahu.
“Ya pokoknya jauh Mas...jauuhhh...banget!” suara Darti semakin sendu.
Karena tak mau mangaku, Sarwono lalu diam. Tak baik mendesak kalau yang punya niat tak mau bicara terus terang. Apalagi baru saja kenal. Tidak sopan.
Suasana semakin hening. Sarwono kembali memandang jalan raya. Dua sejoli lewat sambil bergandengan tangan. Sarwono jadi ingat istrinya.
“Mas tidak keberatan to nemani saya duduk di sini sampai ibu saya datang?” tiba-tiba Darti ngajak bicara lagi. “Mungkin sekitar tengah malam Mas...”
“Tidak,” jawab Sarwono cepat. “Tapi, ibunya kok malam-malam ngajak pergi, apa tidak besuk pagi saja?”
“Maunya begitu sih Mas,” jawab Darti.
Sarwono diam. Malam semakin hitam.
“Ibu saya itu namanya Sriatun, orang di kampung suka memanggilnya Mak Tun,” kata Darti lagi. “Profesinya dukun pijat, tetapi sudah beberapa lama ini ia sakit-sakitan. Kata dokter sakit tua, gitu...”
“Lho, sakit kok ngajak pergi malam-malam?” kembali Sarwono bertanya dan kemudian diam sebab sadar itu bukan urusannya.
Darti menghela nafas.
Malam semakin larut. Jarum jam di pergelangan tangan Sarwono nyaris bersatu di angka duabelas. Wah, sudah tengah malam....pikir Sarwono. Ia harus pulang.
“Nah itu ibu saya....” Darti berdiri sambil menunjuk ke seberang jalan. “Sudah datang....” suaranya gembira sekali.
Sarwono mengikuti arah telunjuk Darti dan melihat seorang wanita tua berdiri di seberang jalan. Mungkin ia baru turun dari angkot. Tapi sejak tadi Sarwono tidak melihat ada angkot berhenti di seberang jalan. Atau mungkin Sarwono yang kurang perhatian.
“Permisi ya Mas,” kata Darti sambil berdiri. Suaranya berubah riang. “Saya mau jemput ibu. Terima kasih mau menemani. Rumah saya di Jalan A Gang II, Waru. Kapan-kapan mampir ya Mas..”
Tanpa menunggu jawab, Darti langsung menyeberang jalan, menemui ibunya. Sarwono terkejut dan hampir saja berteriak. Sebab, begitu Darti sampai di tengah jalan, sebuah mobil boks melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Tampak di depan mata Sarwono, mobil itu melitasi tubuh Darti tetapi tidak menabraknya. Mobil itu lewat bagaikan menembus asap. Tubuh berseragam perawat rumah sakit itu tetap berlari ke seberang jalan.
Sarwono terhenyak. Ia masih sempat melihat anak dan ibu itu berpelukan dan kemudian hilang secara perlahan-lahan, seperti hilangnya kabut dari pelataran bumi. Sarwono tak tahu harus berbuat apa. Karena takut, ia segera saja memacu sepeda motornya pulang. Di rumah, samalaman tak bisa tidur. Apa yang telah terjadi pada diriku? – pikirnya.
Esoknya, karena penasaran, Sarwono mbolos kerja dan mencari alamat yang diberikan Darti semalam. Setelah keluar-masuk kampung akhirnya Sarwono berhasil menemukannya. Rumah itu sedang ramai. Ada bendera putih dengan tanda silang merah di depan gang sebagai tanda ada orang meninggal dunia.
“Siapa yang meninggal Dik?” tanya Sarwono kepada seorang pemuda yang berjaga di mulut gang.
“Anu...Mak Tun, tukang pijet, meninggal tadi malam jam duabelas...” jawab si pemuda acuh tak acuh.
Tergetar hati Sarwono. Lalu dia bertanya lagi. “Mak Tun apa punya anak namanya Darti ya Dik?”
“Iya Mas, tapi sudah lima tahun yang lalu meninggal dunia,” jawab pemuda itu lagi. “Tewas ditabrak truk sepulang kerja...”
“Kerja dimana?” Sarwono semakin takut.
“Jadi perawat di poliklinik...”
Sarwono tak melanjutkan pertanyaannya. Ia juga tak jadi bertamu ke rumah Mak Tun. Sarwono pulang dengan sejuta tanya di hati. Rupanya roh Darti menunggu ibunya yang hendak sama-sama berangkat ke alam baka. Tetapi, Sarwono tak pernah bisa mengerti, kenapa dia yang ditampaki..? (SENTOT JS)

ANAK-ANAK DURGA



SEBENARNYA, pekerjaan sebagai tukang ojek hanyalah sambilan saja, sebab Sadimin pegawai negeri. Ia bekerja di salah sebuah departemen di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Mungkin lantaran gaji yang diterimanya sebagai PNS setiap bulan tidak cukup untuk menghidupi keluarga, Sadimin terpaksa melakukan pekerjaan sampingan antar-jemput menggunakan sepeda motor, yang akrab disebut ‘ojek’.

SETIAP sore, begitu matahari jatuh di cakrawala barat, Sadimin sudah ada di terminal bus lama Purwodadi, nongkrong menanti penumpang untuk diantar ke tempat tujuan dengan imbalan yang tak begitu besar. Tak perlu malu –pikir Sadimin- sebab ngojek termasuk pekerjaan halal. Di samping itu, bukan cuma dia sendiri tukang ojek yang pegawai negeri. Teman-temannya banyak yang siang harinya bekerja di kantor pemerintah dan swasta. Kalau memang gaji tidak mencukupi, kenapa harus malu mencari tambahan?
Sudah sekian lama pekerjaan sampingan itu dijalani Sadimin dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti maupun kejadian-kejadian yang tergolong istimewa. Namun belum lama ini, pada suatu malam yang gerah, Sadimin mengalami peristiwa aneh yang tak akan terlupakan seumur hidupnya. Sadimin ‘dicarter’ roh wanita cantik yang konon memang sering menganggu laki-laki kesepian.
Waktu itu, seperti biasa, Sadimin nongkrong di teminal bus lama Purwodadi. Malam itu suasana terasa sepi dan teman-temannya sesama tukang ojek banyak yang libur. Hawa terasa dingin meski mendung tebal menggelantung di langit malam. Sadimin agak kesal juga sebab sejak sore cuma dapat dua penumpang jarak dekat yang tentu saja ongkosnya tak begitu besar.
Menjelang tengah malam, bus Purwogumilar datang dari arah Semarang dan menurunkan beberapa penumpang. Ada delapan penumpang yang turun dan Sadimin bersiap untuk mengantar salah satunya, kalau ada.
Di antara penumpang-penumpang itu, ada seorang wanita muda yang amat cantik, turun dari bus berurutan dengan penumpang lain. Tampaknya dia bukan orang Purwodadi, sebab begitu turun dia tampak kebingungan. Wanita cantik itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah mecari seseorang untuk bertanya atau seseorang yang menjemputnya.
Sadimin hanya memperhatikan saja. Ia menunggu, kalau memang tidak ada yang menjemput, maka Sadimin berniat menawarkan jasa mengantarnya. Mata Sadimin terus memperhatikan wanita yang memakai rok coklat muda dan baju putih itu. Ia yakin, tak ada yang menjemput wanita tersebut dan rejeki akan jatuh kepadanya.
Ketika terminal sudah sepi dan bus Purwogumilar sudah berangkat lagi, Sadimin tak melihat orang lain kecuali wanita itu. Waktunya menawarkan jasa – pikir Sadimin. Maka dengan mendorong sepeda motor Sadimin mendekati wanita tersebut.
“Mbak mau kemana?” tanya Sadimin. “Mari saya antar...”
Wanita itu berpikir sejenak lalu menjawab kalau tujuannya cukup jauh, yaitu ke daerah Sukolilo, sekitar 25 kilometer sebelum memasuki wilayah Kabupaten Pati. Namanya tukang ojek, semakin jauh semakin bagus, sebab ongkosnya semakin besar. Tawar nemawar terjadi dan disepakati harga yang cukup menyenangkan bagi Sadimin.
Setelah memakai helm yang memang disediakan Sadimin untuk penumpangnya, wanita itu lalu nangkring di belakang Sadimin. Bau harum semerbak menyengat hidung Sadimin, membuat hatinya semakin senang. Gigi satu masuk dan perjalanan menembus kegelapan malam dimulai.
Perjalanan memang cukup jauh, sementara hawa malam terasa semakin dingin. Untuk membunuh sepi, wanita itu terus menerus bicara, menceritakan berbagai pengalaman hidupnya. Sadimin yang berada di depan tak begitu mendengar, namun pura-pura memperhatikan dengan berkali-kali mengiyakan.
Ada beberapa cerita yang sempat masuk telinga Sadimin, yaitu bahwa wanita itu dulu sekolah di Madrasah Tsanawiyah dan tinggal di Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, di belakang gereja nomor tiga. Wanita itu terus asyik berkisah dan Sadimin juga asyik mendengarkan meski tidak lengkap. Suara wanita itu begitu dekat di telinganya dan tubuhnya menempel lengket di punggung Sadimin.

--


TAK terasa, perjalanan menembus malam buta itu berakhir sudah. Mereka telah sampai di Sukolilo. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 22.00 WIB dan suasana malam semakin dingin. Embun mulai turun dari langit membasahi dedaunan. Begitu sepinya sehingga malam terasa mati. Tak ada angin berhembus, tak ada kendaraan umum menuju kota Pati yang lewat.
Karena kasihan melihat wanita itu sendirian di tengah malam buta, Sadimin menemaninya menunggu kendaraan lewat. Namun ditunggu sekian lama, tak ada satu pun yang lewat. Jangankan angkutan umum, kendaraan pribadi tak ada yang lewat. Akhirnya, wanita itu minta kepada Sadimin untuk mengantarkannya ke kota Pati, tepatnya ke Desa Wedarijaksa.
Karena malam sudah larut dan jarak yang bakal ditempuh cukup jauh, Sadimin bersedia mengantarkan asal dibayar dua kali lipat dari ongkos yang telah disepakati. Mungkin lantaran tak ada kendaraan lagi dan wanita itu jelas tak ingin berada sendirian di tepi jalan sampai pagi, ia menyetujui ongkos yang dipatok Sadimin tanpa menawar. Perjalanan pun dilanjutkan lagi. Wanita itu membonceng begitu lekat di punggung Sadimin.
Malam semakin larut dan hawa semakin dingin pula, sepeda motor berjalan dengan kencang menembus kegelapan. Sadimin merasakan tubuh wanita itu menggigil di punggungungnya. Lalu, wanita itu minta agar Sadimin menghentikan sepeda motornya sejenak.
“Mas, saya kedinginan,” kata wanita itu ketika sepeda motor berhenti di tepi jalan. Tubuh wanita itu memang menggigil. “Kalau boleh saya pinjam jaketnya?”
Tak tega melihat wanita itu menggigil kedinginan sementara wajahnya jadi sangat pucat, Sadimin membuka jaket kulitnya dan memberikan kepada wanita itu. Sadimin bahkan membantu mengenakannya.
Sebagai tukang ojek Sadimin merasa punya tanggungjawab atas keselamatan dan kesehatan penumpangnya. Bagaimana kalau sampai di tempat nanti wanita itu mati kedinginan?
Perjalanan dilanjutkan tanpa ada yang bicara. Kedinginan dan kelelahan membuat wanita tak bicara lagi. Sepeda motor tetap berjalan kencang meski angin dingin menerpa tubuh Sadimin yang kini tanpa jaket pelindung. Wanita itu semakin lengket di pungung Sadimin, sampai lelaki itu bisa merasakan detak jantungnya. Angin dingin yang terbelah di depan terasa hilang di kehangatan punggungnya.
Di antara desau angin dan kebisuan yang cukup lama, tiba-tiba wanita itu bicara lagi, mulutnya menempel di telinga Sadimin. Ia menawarkan agar Sadimin nanti menginap saja di rumahnya, sebab hari telah malam.
“Daripada pulang ke Purwodadi lagi, sampeyan bisa sakit nanti. Malam ini dinginnya bukan main,” katanya. “Tidur di rumah saya saja, besuk pulangnya pagi-pagi...” wanita itu menambahkan. Katanya, ia akan ke rumah neneknya di Dusun Jontro, Desa Wedarijaksa, Pati.
Tetapi Sadimin menolak dengan halus: “Saya punya keluarga Dik,” katanya. “Meski malam saya harus pulang. Apalagi besuk harus masuk kantor...”
Tak terasa perjalanan mereka memasuki kawasan hutan jati yang lengang dan gelap. Tak ada sinar lain kecuali sorot lampu motor Sadimin yang tegar membelah kegelapan di depannya. Sadimin merasakan dada wanita itu semakin mepet di punggungnya. Kehangatan menjalar dalam naluri.
Akhirnya, menjelang pukul 00.00 mereka memasuki Dusun Jontro, Desa Wedarijaksa, Kabupaten Pati. Tak lama kemudian wanita itu minta berhenti.
“Sampai di sini saja Mas,” kata wanita itu sambil turun dari sadel motor. “Itu rumah nenek saya,” lanjutnya sambil menunjuk ke suatu arah di kegelapan. Sadimin segera menginjak rem dan sepeda motor berhenti dengan mulus di tepi jalan desa.
“Nenek saya bernama Mbah Saminah,” kata wanita itu sambil melepas helm dan jaket yang dipakainya. Helm dan jaket itu lalu dikembalikannya kepada Sadimin. Saat itu, Sadimin sempat melirik ke arah yang ditunjuk si wanita. Jauh di sana Sadimin melihat kelap-kelip lampu minyak. Mungkin itulah rumah nenek wanita itu.
Tetapi Sadimin tak banyak berpikir lagi. Begitu ia menerima helm dan mengenakan jaket yang dikembalikan oleh si wanita, Sadimin hendak menyalakan mesin motornya, tiba-tiba wanita itu lenyap begitu saja dari hadapannya.

--


KAGET dan meremang bulu kuduk Sadimin. Matanya mencoba menembus kegelapan mencari kemana wanita itu pergi, namun suasana tetap sepi, tak ada siapa-siapa. Tetapi Sadimin bukan pengecut, bukan penakut. Ia tak pernah percaya dengan segala macam setan dan hantu. Apalagi wanita yang diboncengnya sejak dari teminal lama Purwodadi itu benar-benar manusia, berdaging dan dadanya menempel di punggung Sadimin. Lelaki itu merasakan kehangatan, detak jantung dan bahkan dengus nafasnya.
Apalagi, wanita itu belum membayar ongkos ojek. Sadimin tak akan pulang dengan tangan hampa. Istrinya bisa marah tujuh keliling kalau Sadimin pulang tanpa membawa uang. Sadimin lalu turun dari sadel motornya dan mencari wanita itu. Namun tak juga bisa ditemukannya. Hanya kegelapan yang ada.
Sadimin lalu mencari cahaya lampu minyak yang tadi ditunjuk si wanita sebagai rumah neneknya, tetapi cahaya itu sudah tidak ada. Tak ada petunjuk sama sekali kemana Sadimin harus mencari. Maka, Sadimin lalu naik lagi ke motornya dan kembali melaju membelah malam.
Sekitar 300 meter dari tempat ia menurunkan wanita tadi, Sadimin melihat beberapa rumah penduduk di tepi jalan. Sadimin berhenti dan mencoba mengetuk salah satu pintu rumah penduduk untuk menanyakan, apakah ada yang mengenal wanita itu.
Ketika penghuni rumah keluar, Sadimin minta maaf lalu menanyakan masalah wanita tersebut dengan memberikan ciri-ciri yang rinci. Tetapi pemilik rumah menyatakan tak kenal. Bahkan ketika beberapa tetangga ikut datang mencari tahu apa yang terjadi, mereka juga tidak tahu-menahu tentang wanita itu.
“Sampeyan turunkan dia dimana?” tanya si pemilik rumah.
“Sekitar 300 meter dari sini,” jawab Sadimin sambil menunjuk ke arah darimana dia datang. “Tetapi dia hilang begitu saja...”
“Lho, itu Makam Jontro,” kata beberapa warga heran. “Tak ada rumah di situ Mas...Sampeyan pasti dikerjai hantu!”
Sadimin pun sadar kalau ia baru saja dipermainkan setan, jin atau hantu gentayangan. Sadimin lalu pamit pulang. Ia membalikkan arah sepeda motornya dan melaju kembali membelah dini hari. Sampai di tempat dimana ia menurunkan wanita itu, Sadimin berhenti. Ia menyorotkan lampu motornya ke arah dimana wanita tadi hilang. Dan ternyata memang kuburan. Banyak nisan dan pohon kemboja di sana.
“Awas kau,” kata Sadimin dalam hati. “Besuk aku ke sini lagi. Kau harus membayar ongkos ojek ditambah bunganya!”
Lalu, Sadimin memacu motornya kembali ke Purwodadi. Sampai di rumah hari telah pagi. Sadimin terpaksa tidak bisa memberikan uang kepada istrinya. Ketika ditanya, Sadimin bilang tak dapat penumpang dan terpaksa tidur di teminal.
Hari itu, meski mata mengantuk Sadimin masuk kerja. Jam sepuluh ia ijin mau ke puskesmas karena kepalanya pusing. Tetapi Sadimin tidak ke Puskesmas. Ia langsung memacu motornya kembali ke Dusun Jontor, ke makam dimana ia menurunkan wanita itu. Sadimin mau mencari, apakah ada kuburan yang memakai nama Mbah Saminah. Kalau ada, berarti wanita itu juga hantu penasaran.
Sampai di Makam Jontor hari telah menjelang sore. Sadimin keliling makam membaca satu demi satu tulisan di btu nisan, namun nama Saminah tak ditemukannya. Karena lelah, Sadimin duduk di sebuah batu di bawah pohon kamboja.
Saat itulah datang seorang anak laki-laki telanjang dada dari arah selatan. Mungkin anak itu penggembala kambing atau sapi yang sedang mencari rumput. Ketika berjalan di depan Sadimin ia menyapa.
“Kok duduk di sini nunggu siapa Pak?” tanya anak lelaki yang usianya tak lebih dari 10 tahun itu. “Apa mau nyekar? Kalau butuh tenaga besik (bersih-bersih makam –pen) saya bisa bantu....”
“Tidak kok Dik, saya sedang nyari makamnya Mbah Saminah,” jawab Sadimin. “Tetapi rupanya tidak ada, lalu saya istirahat di sini. Sebentar lagi pulang...”
“Mbah Saminah?” si kecil mendekat. “Makam Mbah Saminah dulu ada di sebelah sana Pak, tetapi sudah tidak ada lagi,” katanya sambil menunjuk suatu arah.
“Lho, kemana?” tanya Sadimin lagi.
“Hilang......” jawabnya.

--


HILANG? Pikir Sadimin. Bagaimana sebuah makam bisa hilang? Lagipula, bagaimana warga desa sampai tidak mengenalnya? Lalu Sadimin meminta anak itu bercerita, bagaimana makam Mbah Saminah bisa hilang.
“Ya hilang,” jawabnya ketika Sadimin mencoba menegaskan.
“Warga di sini kok tidak kenal?” tanya Sadimin lagi.
“Mereka tidak tahu Pak, wong sudah lama sekali,” jawabnya. “Mungkin mereka belum ada di sini.”
“Kapan terjadinya?”
“Kurang lebih seratus tahun yang lalu....” jawab si anak kecil.
“Seratus tahun?” hampir saja Sadimin tertawa. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa bicara begitu? Kalau dia tahu, yang lebih tua pasti tahu. Anak ini jelas ngawur.
“Lantas, kenapa bisa hilang?” daripada sepi Sadimin ‘nanggap’ si bocah.
“Gini ceritanya Pak, waktu itu –seratus tahun silam- Mbah Saminah ditangkap rame-rame oleh penduduk desa karena dituduh tukang santet. Padahal Mbah Saminah itu sakti dan hatinya baik, tetapi warga desa salah mengerti. Ketika dibunuh, ternyata Mbah Saminah tidak bisa mati......”
“Maksudmu, Mbah Saminah sakti, gitu?” sela Sadimin. Ia mulai tertarik dengan cerita si bocah.
“Iya Pak, Mbah Saminah sakti wong dia itu sebenarnya Bethari Durga, ratunya Keraton Setragandamayit, penguasa segala lelembut di tlatah bawah,” jawab si bocah nyrocos. “Segala macam pusaka dan senjata tidak mempan. Lalu Mbah Saminah dibakar hidup-hidup. Meski mati, wujud wadagnya tetap, tidak hangus. Malah wajahnya jadi cantik dan muda.”
“Terus gimana?” Sadimin semakin tertarik.
“Lantas mayatnya dikubur di suatu tempat di dekat sungai, jauh dari Makam Jontro,” katanya.
“Jadi, bukan di sini?”
“Bukan......”
“Lha kamu tadi bilang makamnya hilang, padahal aku mencarinya di sini,” keluh Sadimin. “Kamu jangan ngawur...” Sadimin berdiri hendak kembali ke motornya.
“Sampeyan harus melihat bekas makam Mbah Saminah Pak,” tiba-tiba si bocah berucap lagi, ketika Sadimin sudah naik motornya. Sadimin merogoh saku mengambil uang receh yang akan diberikannya kepada si bocah karena sudah menemaninya duduk di kompleks makam.
Tetapi ketika Sadimin menoleh ke arah si bocah, anak itu sudah tidak ada. Sadimin mencari dengan pandangan liar ke seluruh kompleks. Tetapi, anak kecil itu memang sudah tak ada. Susana makam sangat sepi dan menakutkan. Bocah itu tak mungkin pergi. Waktunya terlalu singkat, kalau pergi, pasti masih terlihat. Makam itu terbuka dan sepi......
“Sampeyan harus ke bekas makam Mbah Saminah,” tiba-tiba suara itu terdengar lagi, mendengung dari kejauhan. Sadimin menoleh lagi dan melihat anak kecil itu berada di ujung tikungan, sekitar 300 meter dari tempat Sadimin.
“Bagaimana bocah itu bisa begitu cepat berada di sana?” bulu kuduk Sadimin meremang. Tetapi ada semacam desakan begitu kuat untuk memacu motor ke arah si bocah, mengikuti jalan desa. Sampai di tikungan, bocah itu tak ada. Sadimin menjalankan motornya perlahan-lahan. Entah kekuatan apa yang memaksanya untuk mencari tahu dimana bekas makam Mbah Saminah.
Sampai di tepi sungai, motor Sadimin mati. Saat itu pula, Sadimin melihat anak kecil itu berada di dasar jurang, dekat kali kecil. Sadimin memarkir motornya di tepi jalan dan turun ke jurang. Ingatannya tersedot habis, ia menuruti jejak si bocah.
Sungai kecil itu sangat jernih airnya. Sadimin mengikuti si bocah ke arah hulu. Makin lama, sungai itu makin lebar tetapi tetap dangkal. Tepinya semakin rimbun oleh pepohonan. Sampai suatu tempat, bocah itu naik ke daratan. Sadimin ikut.
Hanya beberapa langkah kemudian, mereka memasuki sebuah goa yang pintunya sangat lebar. Pintu itu berhias tiang bergambar ular naga dan burung elang, bagaikan pintu sebuah candi. Kurang lebih 50 meter memasuki goa, Sadimin dihadapkan pada pemandangan yang sangat mengagumkam.

--



MULUT Sadimin menganga. Matanya melotot memandang suasana di dalam goa yang hanya beberapa langkah dimasukinya. Dinding goa yang tadi dari batu berubah menjadi marmer hitam berkilauan. Atapnya tinggi sekali dan lantai di bawah juga marmer. Namun yang lebih membuat dadanya berdebar adalah, deretan wanita puluhan jumlahnya, berjajar di depannya. Semua berakaian jubah putih tipis melambai. Wajah dan tubuh mereka sama. Mata mereka semua memandang ke arah Sadimin.
Sementara di tengah-tengah mereka, di sebuah singgasana besar, duduk seorang wanita yang lebih cantik dari lainnya. Pakaiannya juga beda. Ia mengenakan jubah ungu, sama tipisnya dengan yang lain. Kalau semua tidak memakai perhiasan sama sekali, wanita yang di tengah itu justru dipenuhi perhiasan. Kalungnya tumpuk undung, gelangnya krompyong dan di kepalanya ada mahkota kecil berkilauan. Jari-jarinya juga dipenuhi cincin beraneka warna.
“Apa ini?” Sadimin mencoba mencari keterangan dari bocak cilik yang membawanya ke situ. Namun ketika Sadimin menoleh, bocah di sisinya sudah tidak ada. Yang berdiri di situ seorang wanita yang wajah dan pakaiannya kembar dengan yang berjajar di depan. “Hah........” Sadimin gemetar.
Suasana di dalam ruangan jadi sangat dingin membeku. Kepala Sadimin pusing bukan main. Matanya berkunang-kunang. Semakin lama, pandangannya semakin pudar. Jajaran wanita berjubah putih terlihat mengabur. Juga wanita yang duduk di singgasana. Semuanya jadi semakin gelap dan akhirnya Sadimin pingsan.
Entah berapa lama dia pingsan. Namun ketika siuman, ia berada di mulut goa yang pebuh semak belukar dan bebatuan. Di dekatnya, anak kecil itu duduk memperhatikan. Ia tersenyum ketika melihat Sadimin sadar dari pingsannya.
Sadimin sangat takut. Ia hendak bangun dan lari. Ia yakin sedang berhadapan dengan hantu. Namun Sadimin tak bisa bangun. Ia tetap duduk bersandar di sebuah batu. Di bawahnya, kali kecil mengalirkan air jernih dengan derasnya.
“Sampeyan hanya diperbolehkan melihat sekejab saja,” kata si bocah dengan suara perlahan. Angin berhembus dan Sadimin menatap mulut goa yang tadi indah berhias dua pilar berukir, kini hanya batu berlumut dan semak-semak. Di dalam goa yang gelap juga tak terlihat apa-apa selain dinding batu hitam.
“Dimana saya?” Sadimin mencoba bertanya dengan suaranya gemetar.
“Sekarang sampeyan ada di dunia,” jawab si bocah. “Tadi sampeyan ada di Pasetran Gondomayit atau Setragandamayit, istana Nyai Ratu Bethari Durga.”
“Dan kamu?”
“Saya yang tadi malam sampeyan bonceng dari Purwodadi,” katanya lagi.
“Tapi yang saya bonceng wanita......”
“Iya, tak masalah. Tadi malam saya wanita sekarang saya bocah kecil. Apa bedanya?” jawab si bocah. “Saya membawa sampeyan kemari sebagai tanda terima kasih telah mengembalikan saya ke Setragandamayit. Kanjeng Ratu berterima kasih...”
“Ratumu itu.....”
“Iya, Kanjeng Ratu Bethari Durga,” jawabnya. “Ada tujuhpuluh anak-anaknya –termasuk saya- yang dipersiapkan untuk turun ke dunia dan melabrak manusia. Kanjeng Ratu marah karena manusia sudah begitu serakah mencuri dan menghabiskan pusaka alam. Hutan jadi gundul, sungai-sungai besar kering, udara yang bersih dikotori segala macam polusi. Kanjeng ratu marah dan berniat melabrak manusia........Dan hanya kau yang diberi tahu agar waspada. Anak-anak Durga akan menyebar ke seluruh Tanah Jawa dan membuat semua anak manusia saling curiga dan bermusuhan, lalu saling membunuh.”
Sadimin masih hendak bertanya, tetapi bocah itu sudah berdiri dan berjalan mundur menjauh sampai di depan mulut goa. Lalu, tiba-tiba ia berubah. Tubuhnya yang kecil menjadi tinggi dan jenjang. Pakainnya yang hitam menjadi jubah putih bersih. Wajahnya cantik dan sayu. Wanita itu kembar dengan wanita-wanita yang tadi berjajar di dalam. Wanita yang diboncengnya semalam. Anak Durga!
Saat itulah Sadimin berhasil bangun dan berdiri. Tanpa pamit dan tanpa memandang lagi ke arah wanita itu, Sadimin ambil langkah seribu, berlari menuruni tebing, jatuh bangun ke arah motornya. Sesudah itu, ia ngebut di jalan raya, pulang ke Purwodadi dengan otak dipenuhi ketakutan. (Sentot Js) ***